Friday, June 23, 2023

Kemenkes - 9 Rumah Sakit Terapkan BGSi

Kemenkes - 9 Rumah Sakit Terapkan BGSi

Kemenkes - 9 Rumah Sakit Terapkan BGSi


Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Dirjen Farmalkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Dr Dra L. Rizka Andalucia pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (22/6/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)






Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) adalah inovasi kesehatan yang berbasis teknologi genomic, yakni mengandalkan teknologi informasi genetik (genom) dari manusia maupun patogen untuk percepatan implementasi kedokteran presisi dan menentukan pengobatan yang tepat bagi pasien.







BGSi program inisiatif nasional pertama yang dibuat oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin guna mengembangkan pengobatan yang lebih tepat bagi masyarakat. diluncurkan Kemenkes tahun lalu, di Gedung Eijkman RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, hari Minggu, 14/08/2022.


Metode BGSi caranya, dengan mengandalkan teknologi pengumpulan informasi genetik (genom) dari manusia maupun patogen seperti virus dan bakteri atau bisa disebut dengan Whole Genome Sequensing (WGS).


Pengembangan WGS ini, kata Menkes, sejalan dengan transformasi bioteknologi dalam aktivitas bio surveillance dan layanan kesehatan yang ditujukan dalam peningkatan deteksi patogen dan memperbaiki pengobatan.


Sebelumnya, metode WGS sendiri telah dimanfaatkan dan berperan penting dalam penanggulangan covid-19 di Indonesia.


Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dr Dra L. Rizka Andalucia menyebutkan sembilan rumah sakit (RS) vertikal di bawah Kemenkes yang sudah menerapkan Biomedical and Genome Science initiative (BGSi).


“Agar diagnostik bisa lebih tepat, maka BGSi ini inisiasinya dimulai dari rumah sakit, dan kita sudah memulai dari sembilan rumah sakit vertikal di bawah Kemenkes,” kata Rizka pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.


Sembilan RS tersebut, pertama adalah RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat yang khusus menangani penyakit-penyakit metabolik seperti diabetes. Kemudian, RS Dharmais Jakarta Barat untuk kanker, RS Pusat Otak Nasional (RSPON) Jakarta Timur untuk stroke, serta RS Infeksi Sulianti Saroso Jakarta Utara dan RS Persahabatan untuk penyakit-penyakit menular.


“Khusus untuk penyakit menular ini, kita fokuskan ke kasus tuberkulosis (TB), karena kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk menyelesaikan kasus TB,” ujar Rizka.







Ia mengatakan, penerapan BGSi juga sudah dikembangkan bukan hanya untuk menangani penyakit saja, melainkan juga perawatan kesehatan dan kecantikan di RS Ngurah, Bali. Lalu, RS Sardjito Yogyakarta untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan atau genetic disorder dengan fatalitas tinggi.


Khusus untuk kesehatan ibu dan anak, BGSi akan diterapkan di RS Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat, dan untuk penyakit kardiovaskuler akan dikembangkan di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta Barat.


“Pemilihan RS ini bukan sembarangan, tetapi berdasarkan prioritas penyakit, yang kasusnya banyak, membutuhkan biaya besar dalam pelayanan kesehatan, juga yang masih menjadi tantangan untuk penanggulangannya, misalnya TB dan kanker yang tingkat keberhasilannya masih rendah,” kata Rizka.


Ia juga memaparkan tentang alur pelayanan BGSi ini, pertama yakni RS yang sudah dipilih akan melakukan pengumpulan spesimen dan data, kemudian dievaluasi dan harus mendapatkan izin etik sebelum dilaksanakan.


“Harus mendapatkan izin dari laboratorium saintifik resmi, juga mengantongi persetujuan subjek yang akan diambil. Jadi harus ada persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent yang ditujukan kepada pasien agar tidak ada penyalahgunaan. Mereka juga harus mendapatkan penjelasan bahwa spesimen yang diambil itu untuk ilmu pengetahuan,” tuturnya.


Rizka juga menekankan bahwa ekosistem yang dibangun di BGSi harus mendukung percepatan peningkatan pelayanan kesehatan dengan prinsip kedokteran presisi, sehingga para peneliti di Indonesia akan mendapatkan porsi peran yang banyak untuk bekerja sama dengan BGSi.


“Ini juga menjadi kesempatan bagi para pengusaha di Indonesia untuk mengembangkan produk kesehatan dalam negeri, baik obat, vaksin, diagnostik yang berbasis pada data populasi Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa kerja sama itu baik harus sudah disertai izin dari etik dan persetujuan dari laboratorium saintifik,” ucap Rizka.